Tokoh

Syekh Nawawi Al-Bantani di Mata Snouck Hurgronje

Sen, 24 Juni 2024 | 08:00 WIB

Syekh Nawawi Al-Bantani di Mata Snouck Hurgronje

Syekh Nawawi Al-Bantani dan C. Snouck Hurgronje. (Foto: dok penulis)

Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani (1813-1879 M) merupakan ulama Nusantara yang masyhur di Makkah pada paruh abad ke-19. Di samping memiliki kapasitas keilmuan yang luas, keterkemukaannya dikenal melalui puluhan karya yang lahir dari berbagai cabang ilmu keislaman.


Karya-karya seputar ilmu hadis, gramatika Arab seperti Nahwu dan Sharf, fiqih, tafsir, akidah, tasawuf, dan sejarah, menjadikannya sosok ulama produktif yang diakui oleh para ulama di dunia. Pasti dunia pesantren tidak asing dengan karya-karyanya seperti Marah Labid li Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid dalam bidang tafsir, Kasyifah al-Saja syarh Safinah al-Naja dalam bidang fiqih, Maraq al-Ubudiyah dalam bidang tasawuf, dan lainnya yang sampai kini menjadi bahan rujukan utama oleh para santri dan ulama di Indonesia.


Tidak hanya karya-karyanya saja, pengaruh Syekh Nawawi sebagai guru agama di Makkah merupakan pondasi penting dalam melahirkan para ulama terkemuka di tanah air. Menurut Umar Abdul Jabbar dalam Siyar Ba’d Ulama’ina fi al-Qarn al-Rabi’ Asyar li al-Hijrah (1982), Syekh Nawawi tinggal di Jalan Syi’b ‘Ali (dekat Masjidil Haram) dan rumahnya selalu dihadiri oleh sekitar dua ratus pelajar.


Tentu saja, pelajar tersebut datang dari berbagai wilayah Nusantara seperti Sunda, Jawa, dan Melayu, bahkan wilayah Islam pada umumnya. Melalui pengajian sistem halaqah di rumah Syekh Nawawi ini, telah mencetak para murid unggul yang kemudian menjadi ulama terkemuka, salah satunya adalah Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.


Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (2012) mengungkapkan bahwa Syekh Nawawi merupakan salah satu figur penting bagi peletak dasar terciptanya jaringan ulama di Jawa, yang kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas ulama.


Komunitas ulama ini mengidentifikasi diri mereka sebagai murid atau penerus Syekh Nawawi, dan mengakui otoritas keulamaannya. Ketika pulang ke kampung halaman, mereka membangun institusi pendidikan pesantren, lalu menjadikan karya-karyanya sebagai sumber otoritatif bagi pembentukan diskursus Islam dan produksi ulama.


Berbicara mengenai kehidupan Syekh Nawawi di Makkah, catatan Snouck Hurgronje (1857-1936 M) ketika melakukan riset ilmiah di sana pada 1884-1885, telah menunjukkan gambaran yang utuh mengenai sosoknya yang luar biasa. Catatan Snouck itu kemudian dibukukan dengan judul Mekka yang terbit pada tahun 1888 dalam bahasa Jerman dan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.


Dalam versi bahasa Arab, buku tersebut terbit dengan judul Safhat min Tarikh Makkah al-Mukarramah (1999), yang diterjemahkan oleh Muhammad Mahmud al-Suryani dan Mi’raj Nawwab Mirza. Satu pembahasan khusus mengenai Syekh Nawawi dalam buku tersebut dapat ditemukan dalam sub bab berjudul “Ulama Banten di Makkah” (versi terjemahan bahasa Arab). Karel A. Steenbrink juga turut mengutip buku Snouck tersebut ke dalam satu pembahasan khusus mengenai Syekh Nawawi dalam bukunya yang berjudul Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984).


Snouck Hurgrone mencatat segala aktivitas Syekh Nawawi, mengamati kepribadian sambil melakukan pembicaraan yang intens dengannya. Menurut Snouck, Syekh Nawawi bisa menghasilkan banyak karya disebabkan ambisi pribadinya yang tekun dalam mengarang. Dulu, Syekh Nawawi mengajar pada setiap waktu yang masih bebas, tetapi selama 15 tahun terakhir, pekerjaannya sebagai pengarang membatasi dirinya untuk kebebasan itu.

 

Setiap pagi, antara jam 7:30 dan jam 12.00 dia memberikan tiga kajian, yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan para muridnya. Dia menerima murid yang baru sejak tingkat permulaan tata bahasa Arab, di samping murid yang sudah cukup pintar dan yang mengajar sendiri di tempat mereka. Maka, murid yang sudah mahir ini juga mengambil sebagian tugasnya di bidang pendidikan dasar.

 
Karya Snouck Hurgronje berjudul Mekka dapat diakses secara online. (Foto: dok penulis)
 

Meski Syekh Nawawi sudah hidup 30 tahun di Makkah dan telah menghasilkan kurang lebih 20 karangan, pada dasarnya ia tetap menjadi orang Jawa yang sesungguhnya. Ketika membaca al-Quran dan membaca suatu naskah Arab, semua kata yang diucapkannya benar-benar fasih, sebagai bentuk menjunjung tinggi martabat ilmu. Tetapi, keadaan tersebut berbeda ketika melakukan percakapan.


Pada kenyataannya, Syekh Nawawi kesulitan dalam melafalkan bahasa sehari-hari dalam bahasa Arab, karena menggunakan kalimat yang setengah Jawa dan tidak mampu membedakan antara Ha, Kha, ‘Ain, dan Qaf. Empat huruf ini memberikan kesulitan yang besar bagi kebanyakan orang Jawa dan dari huruf yang sulit ini, huruf Kha masih merupakan huruf yang agak mudah untuk mereka.


Syekh Nawawi dalam kesehariannya sudah terbiasa dengan pola hidup yang sederhana. Menurut Snouck, ia tidak mementingkan tentang pakaian dan bagaimana cara menjaga penampilan luarnya sebagai seorang ulama terkenal. Pakaian yang dipakainya terlihat pudar atau kehilangan warna asli, begitu pula sorbannya, saat sedang mengajar di lantai dasar rumahnya yang luas sekali. Begitu juga, pakaian yang dipakainya bila keluar rumah, menurut ukuran orang Makkah tidak sepadan dengan martabat kedudukan sosialnya. Tubuhnya yang bungkuk membuat penampilannya lebih kecil dari yang sebenarnya; dia berjalan seolah-olah seluruh dunia adalah kitab besar yang sedang asyik ia baca.


Kemudian Snouck bertanya kepadanya, “Mengapa anda tidak memberi ceramah (mengajar) di Masjidil Haram?” Ia menjawab bahwa pakaiannya yang sederhana dan penampilan luarnya tidak sesuai dengan penampilan layaknya para profesor Arab. Snouck pun berkata, “Banyak warga masyarakat anda (orang-orang Jawi) yang kurang berpengetahuan sedalam anda tapi memberikan ceramah seperti itu.” Ia menjawab, “Kalau mereka telah menerima kehormatan yang tinggi, mereka tentu pantas mendapatkannya.”


Kesan Snouck Hurgronje terhadap Syekh Nawawi lebih besar bukan dari status sosial atau pengaruh keulamaannya yang masyhur, melainkan terhadap kepribadiannya yang rendah hati dan bijaksana. Pada pertemuan-pertemuan awal, Snouck belum betul-betul mengambil kesimpulan yang pasti bahwa Syekh Nawawi adalah orang yang rendah hati dan tidak sombong, meskipun ucapan tersebut datang dari penilaian banyak orang atau bahkan dari ucapan dirinya yang menyatakan bahwa: “dirinya tidak setara dengan debu yang menempel pada kaki para penuntut ilmu.” Ucapan-ucapan maupun cara penampilan luarnya yang sederhana itu bagi Snouck tidak bisa memastikan bahwa ia adalah orang yang rendah hati. Tetapi, pandangan Snouck berubah seiring mengamati praktek hidup Syekh Nawawi yang betul dibuktikan dengan pasti bahwa ia adalah orang yang rendah hati.


Syekh Nawawi menerima cium tangan dari hampir semua orang Jawa di Makkah tanpa menolaknya, tetapi hanya sebagai kehormatan terhadap ilmu saja. Dia tidak pernah menolak permintaan orang-orang mengenai persoalan fatwa hukum syariat kepadanya. Di dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari, ia ikut saja dengan baik tanpa mendominasi percakapan.


Dia tidak akan memulai diskusi ilmiah kalau tidak ada orang lain yang mendorongnya. Andai kata ada orang Arab yang belum mengenal dan mengetahui kemasyhurannya, mungkin bisa menghabiskan satu malam untuk berkumpul bersamanya tanpa mengetahui bahwa ia adalah seorang ulama yang telah mengarang kurang lebih 20 karangan ilmiah dalam bahasa Arab.

 
Versi bahasa Arab dari Karya Snouck Hurgronje, berjudul Safhat min Tarikh Makkah al-Mukarramah. (Foto: dok penulis)
 

Dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi mempraktikkan tasawuf yang agak moderat, tasawuf Imam al-Ghazali, yang menitikberatkan segi etis di dalam bentuk yang sederhana. Karena itu, ia memberikan penjelasan kepada murid-muridnya tentang karya-karya tasawuf di mana unsur etika lebih dipentingkan daripada unsur-unsur rahasia tasawuf yang gaib. Dia tidak memberikan anjuran kepada murid-muridnya supaya masuk tarekat, tetapi juga tidak menghalangi mereka masuk kelompok itu.


Menurut Snouck, sebetulnya ia menyadari keadaan orang sebangsanya yang cenderung tertarik pada hal mistis dan gaib, tetapi ia memilih sikap yang bijaksana, yaitu menyadari kesalahan-kesalahan tarekat dengan sikap lebih toleran dibandingkan dengan sikap para ulama Arab modern pada umumnya.


Kendati memiliki status sosial yang tinggi sebagai ulama di Makkah, pada dasarnya Syekh Nawawi lebih memilih kehidupan yang sederhana. Dia pernah bekerja sebagai muthowwif (pembimbing haji) namun para muridnya menganggap hal tersebut tidak sepadan dengan kedudukan keilmuannya yang tinggi.


Dia juga tidak berbakat dalam mencari uang, bahkan ia tidak menginginkan hidup mewah atau enak saja. Walaupun menerima banyak hadiah yang berharga dari orang-orang, namun ia hidup dengan kesederhanaan mutlak. Pada waktu malam, ia mengarang dengan cahaya satu lampu minyak yang sangat kecil (misrajah), yang oleh orang lain hanya dipakai untuk mengantar orang ke luar rumah.


Meski begitu, istrinya lebih bersikap realistis, ia terlibat dalam beberapa pekerjaan penting. Istrinya berjasa menyiapkan hidangan untuk para tamu yang diundang Syekh Nawawi pada hari libur, dan oleh karena itu ia pantas menerima ucapan terima kasih karena telah membantu suaminya melayani tamu-tamu dengan baik.


Berdasarkan semua penjelasan di atas menjadi kesimpulan yang utuh mengenai kekaguman Snouck Hurgronje terhadap Syekh Nawawi. Kekaguman itu lahir bukan sekedar dari perkenalan biasa saja, melainkan melalui kacamata pengamatan dan analisis intelektual seorang peneliti profesional.


Menurut Snouck, Syekh Nawawi merupakan ulama asal Banten yang paling terkenal di Makkah. Dia memiliki pengaruh keulamaan yang diakui oleh banyak kalangan Muslim. Akan tetapi, semua itu bukan menjadi jawaban utuh terhadap dirinya. Satu hal yang Snouck catat adalah meski kepribadian Syekh Nawawi tidak begitu kuat, tetapi pengaruh moralnya sangat terkenal.


Dia memiliki pengaruh sosial yang luas, namun tidak mau memainkan peranan penting dalam pengaruhnya. Dia lebih memilih jalan kesederhanaan dan memainkan peran rendah hati dan bijaksana. Hal demikian yang justru menjadi indikasi penting mengapa banyak orang-orang memilih belajar ajaran Islam lebih mendalam di bawah pengaruh dan bimbingannya.


Ahmad Rifaldi, alumnus Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pesantren Al-Awwabin Depok, Jawa Barat