Nasional

Di Era Digital, KH Musta'in Syafi'i Tegaskan Kalamullah Tetap Kalamullah

Rab, 26 Juni 2024 | 21:00 WIB

Di Era Digital, KH Musta'in Syafi'i Tegaskan Kalamullah Tetap Kalamullah

Seminar Al-Qur'an Multaqa Nasional Ulama Al-Qur'an yang digelar Pimpinan Pusat Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) di Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (26/6/2024). (Foto: dok. PP JQHNU)

Jombang, NU Online 

Pakar Tafsir Al-Qur'an KH Musta'in Syafi'i mengaku tidak pernah minder dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat di era digital. Pasalnya, Al-Qur'an merupakan bahasa Arab wahyu, bukan bahasa Arab budaya.


"Saya Tidak pernah minder dengan itu. Kalamullah itu kalamullah. Tidak ada kalimat yang berarti sama, mesti beda," ujarnya saat menjadi narasumber pada Seminar Al-Qur'an Multaqa Nasional Ulama Al-Qur'an yang digelar Pimpinan Pusat Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) di Pondok Pesantren Madrasatul Qur'an, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (26/6/2024).


Ia mencontohkan lafal ata, ja'a, dan hadlara yang dalam bahasa Indonesia hampir dimaknai mirip, padahal itu berbeda-beda satu sama lain. 


Lafal ata, menurutnya, digunakan semua derivasinya, mulai fiil madli, fiil mudlari, fiil amar, isim fail, dan sebagainya. Pun makna ata berarti datang dengan mudah, seperti dalam surat As-Syu'ara ayat 89.


Sementara kata ja'a yang digunakan hanyalah bentuk fiil madli saja. Meskipun sama memiliki makna datang, tetapi beda dengan ata. Sebab, ja'a memiliki makna datang dengan perjuangan sebagaimana dalam surat An-Nashr yang mengulas tentang keberhasilan Nabi Muhammad saw dalam Fathu Makkah.


"Fathu Makkah itu perjuangan," kata kiai kelahiran Paciran, Lamongan, Jawa Timur itu.


Beda lagi, lanjutnya, dengan kata hadlara yang berarti datang karena adanya kepentingan. Ia mencontohkan surat An-Nisa ayat 8 yang mengulas tentang qismah (pembagian).


"Mengapa keluarga datang pas ulul qismah? Itu biar apa? Dapet bagian," jelas kiai yang menghafalkan Al-Qur'an pada Kiai Adlan Aly itu.


Oleh karena itu, Kiai Musta'in menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak minder dengan perkembangan teknologi yang kian canggih itu. "Semodern apapun saya tidak minder," tegasnya.


Melengkapi itu, Nadirsyah Hosen menyampaikan bahwa teknologi memang tidak memiliki dzauq (rasa), sebagaimana yang dimiliki manusia. Karenanya, ia juga mengingatkan agar tidak perlu khawatir dalam menghadapi era serba robot.


"Jangan khawatir menghadapi era robot. Banyak hal yang tidak bisa mereka lakukan," ujar Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Monash Melbourne, Australia itu.


Mengutip Jack Ma, Gus Nadir menyampaikan perlunya pengajaran sportivitas melalui olahraga atau kompetisi, ajarkan kesenian, dan kerja sama. "Robot hanya bisa memutar, mendialogkannya dia tidak tahu," pungkasnya.