Opini

Idul Fitri: Gerbang Kemuliaan dan Kebajikan

Ahad, 25 Juni 2017 | 00:30 WIB

Oleh: Muhammad Makhdum
Idul Fitri adalah momen istimewa, terutama bagi kaum muslimin yang telah usai melaksanakan ibadah puasa. Selama kurun waktu usia kita, berbilang Idul Fitri telah kita lalui, termasuk di penghujung bulan Ramadhan tahun ini. Secara harfiah, Idul Fitri bermakna kembali berbuka (ifthar) setelah sebulan berpuasa. Idul Fitri juga sering dimaknai dengan kembali kepada kesucian (fitrah). Karena sesungguhnya, manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci, terlepas siapapun yang menjadi ibunya. Sejak lahir manusia telah dibekali Allah SWT dengan sifat hanif (lurus), pengasih, penyayang, pemaaf, dan jauh dari keangkuhan yang mampu mengantarkan manusia baik ke arah kebaikan dan kedamaian.Ā 

Dalam perspektif teologi Islam, kembali kepada fitrah memiliki arti kembali ke asal kesucian, menuju asal eksistensi manusia. Seyyed Hossein Nasr (2003), seorang guru besar teologi dan filsafat Islam di George Washington University, menjelaskan bahwa dengan mencapai fitrah, berarti manusia kembali kepada axis, yakni pusat atau poros eksistensi kemanusiaannya serta menjauhi lingkaran luar yang jauh dari sifat-sifat kemanusiaan itu sendiri.Ā 

Setelah sebulan penuh kita berjuang menahan lapar, dahaga, dan nafsu dunia, maka Idul Fitri ibarat hari pembebasan dan kemenangan dari semua bentuk hawa nafsu yang membelenggu jiwa kita. Itu artinya bahwa kemenangan Idul Fitri yang kita rayakan merupakan simbol gugurnya dosa-dosa yang telah kita lakukan. Segunung dosa itulah yang membuat diri kita terasa kotor di mata manusia dan hina di hadapan Allah SWT. Akan tetapi benarkah bahwa kemenangan batin tersebut telah kita rasakan dalam setiap momen Idul Fitri yang telah kita lalui?Ā 

Sejatinya, kemenangan Idul Fitri baru terjadi manakala jiwa kita telah bersih dari segala sifat dengki, iri hati, sombong, angkuh, termasuk merasa paling benar sendiri. Dengan kata lain, kemenangan yang fitri dapat diraih jika kita telah terhindar dari segala bentuk kegelapan hati. Tanpa kita sadari, sesungguhnya kegelapan hati tersebut telah membuat kita buta dengan penderitaan dan tuli terhadap keluh-kesah sesama sehingga semakin menjauhkan manusia dari keridhaan Allah SWT.Ā 

Seyyed Hossein Nasr menjelaskan bahwa manusia memiliki dua alam, yaitu alam spiritual (lahut), dan alam fisikal (nasut). Gelapnya hati seseorang merupakan indikator bahwa manusia semakin jauh dari axis-nya dan telah gagal mengembangkan unsur-unsur spiritual (lahut) yang suci dalam dirinya sendiri. Kegelapan hati hanya bisa lenyap jika seseorang telah tersentuh dengan cahaya ilahi. Hamba yang telah tercerahkan dengan cahaya Tuhan akan merdeka dari berbagai keterikatan budaya materialistik dan hegemoni kepentingan yang cenderung menyesatkan.Ā 

Hati yang telah tercerahkan layaknya metamorfosis seekor ulat yang menjijikkan menjadi kupu-kupu yang cantik dan mempesonakan. Untuk mendapatkan pencerahan tersebut, seekor ulat harus melakukan ritual ā€œpuasaā€ di dalam kepompong yang sempit pada kurun waktu yang cukup lama. Begitu masanya tiba, ulat tersebut akan bertransformasi menjadi kupu-kupu, sehingga yang tampak hanyalah keindahan dan kelembutan yang mampu menyejukkan mata dan hati setiap orang yang memandangnya.Ā 

Lalu, seberapa banyak manusia yang telah beruntung mengalami transformasi menuju kemuliaan? Yang pasti, selama manusia itu menjalankan puasa dengan penuh keimanan dan hanya mengharap keridhaan Tuhan, maka akan mengalami kondisi yang demikian. Melalui puasa, semua kotoran yang membutakan nurani kemanusiaan akan tersucikan sehingga kaca hati akan kembali bening berkilauan. Manusia dengan derajat tersebut akan selalu mengundang kecintaan dan menjadi sumber kedamaian bagi siapa saja yang berada di sekelilingnya.Ā 

Meskipun demikian, selagi kita masih dalam kategori manusia awam, maka tidak ada jaminan bahwa pencerahan yang telah kita peroleh akan berlangsung selamanya. Dalam titik tertentu, manusia bisa kembali tergoda oleh perbuatan dosa dan pelampiasan syahwat duniawi. Hal tersebut terjadi tidak lain karena manusia masih dikuasai oleh unsur-unsur lahiriahnya (nasut) yang berupa hawa nafsu dan dorongan syahwat belaka. Akan tetapi bahwa setidak-tidaknya orang yang pernah tercerahkan akan lebih terkendali hawa nafsunya sehingga menjadi lebih santun dan penyabar.Ā 

Ambisi pribadi maupun kelompok barangkali juga masih tetap ada, hanya saja akan menjadi lebih jinak dan tidak terlalu vulgar untuk ditunjukkan di muka umum sehingga seolah buta dan tuli terhadap kepentingan orang lain. Itulah mengapa Ramadhan berlangsung setiap tahun, tidak lain agar manusia mendapatkan momentum untuk terus bersiklus dalam mengasah unsur lahut-nya, sehingga dapat meningkatkan derajat kemuliannya setahap demi setahap selama kurun waktu hidupnya.

Dengan demikian Idul, Fitri lebih tepat diartikan sebagai titik kulminasi (axis) dalam pencarian jati diri seseorang akan sifat-sifat kemanusiaannya yang sejati. Artinya, Idul Fitri justru bukan merupakan akhir dari masa berpuasa. Idul Fitri semestinya harus kita jadikan sebagai pintu gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang lebih santun dan beretika.Ā 

Marilah kita rayakan Idul Fitri ini sebagai momentum untuk memperbaiki kualitas hubungan kemanusiaan, menghindarkan segala bentuk konflik kepentingan yang mengarah pada rapuhnya hubungan sosial kemasyarakatan. Bahkan sangat mungkin karena imbas puasa Ramadhan dan pemahaman yang utuh mengenai Idul Fitri mampu membawa kita untuk saling berlomba memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada orang lain, bukan malah memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri pribadi atau kelompoknya sendiri.Ā 

Selamat Idul Fitri, Taqabalallahu minna wa minkum. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Penulis adalah ketua PAC GP Ansor Kecamatan Widang Kabupaten Tuban