Nasional

JPPI Nilai PTN-BH Jadi Biang Kerok Utama Mahalnya UKT di Kampus Negeri

Rab, 22 Mei 2024 | 19:00 WIB

JPPI Nilai PTN-BH Jadi Biang Kerok Utama Mahalnya UKT di Kampus Negeri

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. (Foto: NU Online/Suci)

Jakarta, NU Online
Kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) terus menjadi sorotan sebagai penyebab utama tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di berbagai kampus negeri. Hal ini dibahas dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada Selasa (21/5/2024).


Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai ada sejumlah poin penting yang perlu ditanggapi lebih lanjut.


1. Kriminalisasi dan intimidasi mahasiswa
Ubaid menyoroti masih banyaknya laporan intimidasi terhadap mahasiswa yang melakukan aksi protes.


"Mas Menteri seharusnya memanggil para pimpinan kampus yang melakukan kriminalisasi dan intimidasi kepada mahasiswa," ujar dia dalam keterangannya kepada NU Online, Rabu (22/5/2024).


Hal ini, lanjutnya, penting sebagai bentuk keberpihakan Kemendikbud Ristek terhadap kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945 (pasal 28) soal kebebasan berpendapat.


2. Penolakan pencabutan Permendikbud 2 Tahun 2024
Kemendikbud Ristek menolak permintaan Komisi X DPR RI dan tuntutan mahasiswa untuk mencabut Permendikbud 2 tahun 2024.


Ubaid menilai keputusan ini menyebabkan kebijakan terkait tarif Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) tetap menjadi dasar kenaikan UKT, meski banyak mahasiswa yang merasa keberatan dengan besarnya biaya tersebut. Padahal, kenyataannya SSBOPT ini dijadikan dasar oleh kampus-kampus untuk menaikkan tarif


"Jadi, persoalan ini masih ruwet, masing-masing pihak saling lempar bola panas, satu sisi Kemendikbud Ristek merasa sudah tetapkan pagi yang berkeadilan. Tapi, di sisi lain, ketika pagi ini dirujuk oleh kampus dalam menentukan UKT, ternyata mahasiswa menjerit kemahalan," jabar dia.


3. Penetapan UKT jauh dari prinsip inklusif
Ubaid menegaskan bahwa penetapan UKT saat ini masih jauh dari prinsip keadilan dan inklusivitas, sementara Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyebut pihaknya sudah mengedepankan asas keadilan.


Menurut Ubaid, jika prinsip sudah terpenuhi tarif UKT tidak mengundang polemik seperti saat ini. Fakta menunjukkan, mahasiswa masih turun di jalan untuk menuntut keadilan soal tarif UKT ini yang dianggap sangat menyengsarakannya.


"Jika keributan ini terjadi di mana-mana dan di banyak kampus, jelas bahwa yang tidak berkeadilan atau yang bermasalah adalah kebijakan di level pusat atau peraturan Kemendikbud Ristek yang dirujuk oleh kampus-kampus, yaitu Permendikbud Ristek Nomor 2 tahun 2024 yang dijadikan dasar kenaikan UKT," imbuhnya.


4. Dampak kenaikan UKT bagi semua mahasiswa, baru dan lama
Meski Menteri Nadiem menyebut kenaikan UKT tidak berdampak pada mahasiswa yang sedang kuliah, Ubaid menyatakan bahwa kemahalan UKT sudah menjadi masalah selama bertahun-tahun, bahkan sebelum pandemi.


"Kemahalan UKT itu tidak hanya tahun ini saja, tapi tahun-tahun yang lalu juga sudah mahal. Bedanya, tahun ini mahalnya kian berlipat-lipat Inilah yang mengakibatkan pekik suara protes mahasiswa pun kian nyaring," paparnya.


"Korban UKT mahal ini bukan hanya mahasiswa baru, tapi semua mahasiswa yang tengah duduk di bangku kuliah juga terdampak," tegasnya.


5. UKT mahal berdampak pada mahasiswa dari keluarga menengah
Ubaid menyoroti bahwa UKT mahal tidak hanya berdampak pada mahasiswa miskin, tetapi juga mahasiswa dari keluarga kelas menengah.


Hal ini, sayangnya, tidak disinggung oleh mas Menteri dan juga tim dari Kemendikbud Ristek. Mereka hanya menjelaskan data soal proporsi UKT1 dan UKT2 (golongan miskin) yang, menurut Kemendikbud Ristek, sudah terpenuhi 20 persen, bahkan lebih.


"Tentu data ini tidak bisa ditelan mentah-mentah, perlu pembuktian dan audit di tiap-tiap kampus apakah benar sudah tercapai ambang minimal 20 persen. Data tersebut, perlu kita dalami," kata Ubaid.


Misalnya, jika menilik data total penerima KIP Kuliah hingga 2024, ditemukan data penerima sebanyak 985.577 mahasiswa. Sementara, jumlah mahasiswa yang sedang kuliah terdapat sekitar 9,32 juta mahasiswa (data tahun 2022). Jadi, penerima KIP Kuliah diperkirakan di kisaran angka 10 persen, tidak sampai pada batas minimal 20 persen. 


Selain itu, Kemendikbud Ristek tidak memberikan skema bantuan dan jaminan keterjangkauan biaya UKT bagi kelompok ekonomi menengah ini. 


"Mereka akan engap dan potensial gagal bayar jika diminta bayar dengan UKT yang mahal," ujarnya. 


"Karena itu, supaya mereka tidak gagal bayar UKT, perlu ada skema khusus bantuan pembiayaan untuk mahasiswa kelompok ekonomi menengah ini," imbuh Ubaid. 


6. PTN-BH biang kerok meroketnya UKT
Ubaid menyatakan bahwa status PTN-BH justru menjadi biang kerok mahalnya UKT. 


"PTN-BH yang diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis profit mengakibatkan UKT menjadi kian tak terjangkau," ujar Ubaid. 


Ia menambahkan, meski ITB dijadikan contoh sebagai kampus yang mampu mengurangi ketergantungan pada UKT, kenyataannya mahasiswa ITB masih protes karena mahalnya UKT dan adanya pemaksaan skema pinjaman online sebagai solusi.


Disebutkan pada tahun 2023, komposisi proporsi anggaran ITB adalah dari APBN sebanyak 56 persen, UKT+IPI sebesar 26 persen, dan sumber lainnya 56 persen.


"Jika demikian benar, mestinya UKT di ITB akan murah dan terjangkau oleh mahasiswa. Tapi ternyata tidak, bahkan proporsi itu sama sekali tidak meringankan beban mahasiswa ITB," tutur dia. 


Beberapa bulan lalu, protes mahasiswa ITB viral terkait mahalnya UKT dan pemaksaan pihak kampus untuk mengambil pinjaman online sebagai dana talangan. Ketua Yayasan Beasiswa Luar Biasa (BLB) menyebut total tunggakan UKT mahasiswa ITB semester ganjil mencapai Rp 4,3 miliar, menunjukkan betapa PTN-BH menyengsarakan mahasiswa.