Nasional

8 Catatan Kritis soal Program Merdeka Belajar Kemendikbud

Jum, 3 Mei 2024 | 21:01 WIB

8 Catatan Kritis soal Program Merdeka Belajar Kemendikbud

Gedung Kemendikbud Ristek. (Foto: kemdikbud.go.id)

Jakarta, NU Online

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, memberikan "lampu kuning" bagi keberlanjutan Merdeka Belajar Kemendikbud era Nadiem Makarim. Menurutnya, kebijakan ini memiliki sisi baik, tetapi juga berdampak buruk, sehingga perlu dievaluasi dan direvisi agar lebih berkualitas dan berkeadilan.


"Karena memang kebijakan ini ada sisi baiknya, dan tidak sedikit pula yang berdampak buruk. Jadi, sebelum dilanjutkan, perlu dievaluasi dan dilakukan langkah-langkah revisi supaya lebih berkualitas dan berkeadilan," kata Ubaid dalam Diskusi dan Refleksi Hardiknas 2024: Lanjutkan Merdeka Belajar di Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2024).


JPPI memberikan 8 catatan mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki terkait Merdeka Belajar.


1. Memperjelas konsep Ki Hajar Dewantara yang dirujuk dalam Merdeka Belajar

Ubaid menilai, konsep Merdeka Belajar perlu lebih jelas, terutama dalam mengacu pada konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Konsep ini dinilai masih memiliki banyak tafsiran yang berbeda, dan program Merdeka Belajar dalam Kurikulum Merdeka dinilai belum sepenuhnya mencerminkan konsep kemerdekaan dalam pendidikan.


"Misalnya, soal pemaknaan merdeka, bagi Ki Hajar, pendidikan adalah proses memerdekakan manusia, dan sekolah harus melahirkan manusia yang merdeka. Sementara program Merdeka Belajar dalam Kurikulum Merdeka, mereduksi konsep kemerdekaan dalam teknis pembelajaran di kelas," jabar dia.


2. Memperkuat tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan

Ia menjelaskan, tanggung jawab negara dalam pembiayaan pendidikan perlu diperkuat, sesuai dengan gagasan Ki Hajar Dewantara. Namun, dalam praktiknya, episode Merdeka Belajar justru mendorong agenda privatisasi pendidikan, yang tidak sejalan dengan prinsip yang diajarkan Ki Hajar.


Dalam gagasan Ki Hajar, untuk menciptakan manusia yang merdeka, negara harus bertanggung jawab penuh untuk menjamin hak anak Indonesia di manapun mereka belajar, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta (sekolah partikulir, meminjam istilah Ki Hajar dalam risalahnya yang diterbitkan majalah Pusara, 1948).


"Sayangnya, sisi pemikiran Ki Hajar yang ini, tidak masuk dalam Episode Merdeka Belajar. Episode Merdeka belajar justeru mendorong agenda privatisasi pendidikan, sebagaimana tercermin dalam RUU Sisdiknas dan kebijakan PTN-BH yang membuat biaya UKT di PTN menjadi mahal dan tidak terjangkau," ujarnya.


3. Penguatan dan optimalisasi satgas PPK dan TPPK dalam pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan seksual dan perundungan

JPPI menilai diperlukannya penguatan dan optimalisasi satgas PPK dan TPPK dengan melibatkan aktif masyarakat sipil, khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan kasus kekerasan seksual dan perundungan di sekolah.


"Kekerasan di sekolah ini sudah sangat menjalar kemana-mana, karena itu, perubahannya harus di semua level, mulai dari pattern of behaviour, system structure, dan mental model," paparnya.


4. Merdeka Belajar harus mampu melepaskan belenggu guru yang tengah terlilit administrasi

Menurutnya, merdeka Belajar harus mampu membebaskan guru dari beban administrasi yang berlebihan, yang saat ini justru menimbulkan kontraproduktif di lapangan.


Aplikasi PMM, alih-alih mengurangi beban administratif guru, tapi justru di lapangan terjadi kontraproduktif dengan tujuan yang ingin dicapai.


"Bukan mutu guru yang naik, tapi justru menjadi beban baru dan praktik koruptif-manipulatif yang di orkestrasi oleh sekolah dan dinas pendidikan malah merajalela," jelasnya.


5. Pendekatan online dalam peningkatan mutu guru harus dipikirkan ulang

Hal tersebut perlu menjadi perhatian lantaran belum mampu menjadi solusi yang efektif. Sebab, pendekatan teknologi yang sudah berjalan 4 tahun belakangan ini, belum mampu menjadi solusi, tapi justru menjadi tragedi di sekolah. Ini terjadi karena ketidaksiapan guru dan lingkungan sekolah yang mendukung.


6. Merdeka Belajar harus menjawab masalah ketertinggalan dengan memperbaiki sistem PPDB agar lebih berkeadilan bagi semua 


Merdeka Belajar harus mampu menjawab problem ketertinggalan, dengan cara memperbaiki sistem PPDB yang berkeadilan bagi semua.  Jangan ada lagi sistem "seleksi gugur" dalam pendidikan dasar (SD-SMP) bagi daerah yang masih menerapkan Wajib Belajar 9 tahun.


"Sementara bagi daerah yang sudah menerapkan kebijakan Wajib Belajar 12 tahun, pemerintah daerah harus menghapus sistem "seleksi gugur" dari jenjang SD sampai SMA/SMK," kata Ubaid.


7. Fokus anggaran dalam Merdeka Belajar harus difokuskan pada pembenahan pendidikan (akses dan mutu) di level dasar dan menengah


Karena itu, anggaran 20 persen harus fokus dikelola oleh Kemendikbud Ristek RI dan Kemenag RI. Selama agenda pendidikan dasar dan menengah ini belum tuntas, maka Kementerian/Lembaga lain idealnya tidak diberikan kue anggaran dari jatah 20 persen tersebut.


8. Merdeka belajar harus mampu menyejahterakan dan meningkatkan mutu guru

JPPI menilai program Merdeka Belajar harus mampu meningkatkan kesejahteraan dan mutu guru, termasuk menyediakan skema yang jelas untuk menangani nasib guru honorer yang masih terkatung-katung.


"Harus ada skema dan tahapan yang jelas dan terukur untuk menjawab nasib jutaan guru honorer yang masih terkatung-katung nasibnya, bahkan statusnya saja tidak diakui dan belum terdata di dapodik," pungkasnya.