Ilmu Hadits

Ketentuan Upah Buruh Perspektif Rasulullah

Sel, 30 April 2024 | 15:00 WIB

Ketentuan Upah Buruh Perspektif Rasulullah

Ketentuan upah buruh menurut Rasulullah saw. (freepik)

May Day atau Hari Buruh Internasional diperingati setiap tahunnya pada 1 Mei. Hari Buruh diperingati sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa para buruh. Selain itu, hari tersebut juga dirayakan untuk menyadarkan pentingnya pemenuhan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang buruh.
 

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, buruh merujuk kepada individu yang melakukan pekerjaan untuk orang lain dengan imbalan finansial. Menurut pandangan Muchtar Pakpahan, buruh adalah individu yang menggantungkan kehidupannya pada pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan yang dilakukan dan mendapat imbalan atas jasa atau tenaganya. 
 

Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, buruh didefinisikan sebagai individu yang melakukan pekerjaan dengan menerima kompensasi berupa upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. (Tasmin Tangngareng, Hak-Hak Buruh dalam Perspektif Hadis Nabi Saw, [Jurnal Ushuluddin, Vol. 23, 2021], halaman 124).
 

Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 memberikan sejumlah hak kepada buruh, termasuk hak atas upah yang layak, waktu kerja dan istirahat yang wajar, keselamatan dan kesehatan kerja, cuti, perlindungan hukum, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan, serta perlakuan yang adil tanpa diskriminasi. 
 

Upah Buruh dalam Hadits Rasulullah saw

Dalam Islam, buruh dipandang dengan sangat manusiawi. Hak-hak yang didapat oleh buruh mesti dipenuhi oleh pihak yang mempekerjakannya, baik individu maupun lembaga atau perusahaan. Keterangan ini sebagaimana disebut dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar:
 

عن عبد الله بن عمر، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أعطوا الاجير أجره، قبل أن يجف عرقه 
 

Artinya, “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah saw bersabda, ‘Berikanlah upah kepada pekerja, sebelum keringatnya mengering’.” (HR Ibnu Majah).
 

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda:
 

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ، وَأَعْلِمْهُ أَجْرَهُ وَهُوَ فِي عَمَلِهِ
 

Artinya, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya mengering, dan informasikan [jumlah] upahnya ketika pekerjaan akan dimulai.” (HR Al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shugra).
 

An-Nasa’i dalam Sunan-nya meriwayatkan sebuah hadits mauquf (yang dinisbatkan kepada sahabat Nabi saw), yang hampir serupa dengan dua hadits di atas, dengan sedikit perbedaan redaksi, yaitu:
 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ إِذَا اسْتَأْجَرْتَ أَجِيرًا فَأَعْلِمْهُ أَجْرَهُ
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa'id, beliau berkata, ‘Jika kamu memperkerjakan orang, maka beritahukanlah upahnya’.” (HR An-Nasa’i).
 

Hadits-hadits di atas memberikan petunjuk kepada kita tentang pentingnya memberikan upah kepada pekerja dengan adil dan tepat pada waktunya. Pada hadits pertama Rasulullah saw berpesan agar buruh atau pekerja diberi upah sebelum keringat mereka mengering. Artinya hak-hak pekerja harus dijamin dan diberikan tanpa penundaan.
 

Hadits kedua dan ketiga memiliki nilai serupa dengan hadits pertama, hanya saja Rasulullah saw menekankan pentingnya memberikan informasi tentang jumlah upah yang akan diterima oleh pekerja sebelum pekerjaan dimulai. 
 

Poin pentingnya yaitu hadirnya nilai-nilai keadilan dan transparansi dalam hubungan antara pemilik modal atau perusahaan dengan para pegawainya, sehingga tidak ada keraguan atau ketidakpastian terkait dengan upah yang akan diterima.
 

Secara keseluruhan, ketiga hadits tersebut memberikan pedoman yang jelas tentang pentingnya memberikan hak para buruh berupa gaji secara tepat waktu, serta bersifat transparan dengan menginformasikan jumlah upah yang akan diberikan dalam kesepakatan kerja.
 

Pandangan Ulama tentang Hadits-Hadits Upah Buruh

Al-Muzhiri dalam Al-Mafatih Syarhul Mashabih mengomentari hadits di atas, bahwa Islam melarang menunda penggajian atau pemberian upah kepada buruh yang dipekerjakan. (Al-Muzhiri, Al-Mafatih Syarhul Mashabih, [Kuwait: Darun Nawadir, 2012], jilid II, halaman 478).

Senada dengan komentar Al-Muzhiri, As-Shan’ani dalam At-Tanwir juga menyimpulkan bahwa Islam memerintahkan agar para pemilik modal atau di era sekarang dominannya adalah perusahaan, agar bergegas menggaji pegawainya jika masuk waktu gajian. (As-Shan’ani, At-Tanwir Syarhu Jami’is Shagir, [Riyadh: Darus Salam, 2011], jilid II, halaman 478).
 

“Dalam hadits tersebut juga terdapat dalil atau petunjuk agar adanya ketetapan upah bagi pekerja, supaya tidak terjadi misinformasi atau misunderstanding yang di kemudian hari dapat menyebabkan pertengkaran dan perselisihan.” Ujar As-Shan’ani dalam karyanya, Subulus Salam, (As-Shan’ani, Subulus Salam, [Beirut: Darul Hadits, t.t.], jilid II, halaman 118).
 

Para fuqaha, sebagaimana penuturan Ibnu Qudamah, bahkan sepakat bahwa perjanjian kerja antara orang yang meminta jasa dengan pekerjanya diharuskan untuk transparan soal jumlah upah atau gaji yang akan diterimanya, begitu pun hak-hak kepegawaian. (Al-Wallawi, Dzahiratul ‘Uqba Syarhu Sunanil Mujtaba, [Damaskus: Darul Mi’raj, t.t.], jilid XXXI, halaman 97).
 

Hadits Qudsi tentang Buruh

Selanjutnya dalam sebuah hadits qudsi, terdapat peringatan supaya orang yang menyewa jasa, para pemilik modal, begitupun perusahaan serta instansi yang mempekerjakan karyawan atau pegawainya agar hak-hak mereka dipenuhi. Hadits qudsi ini diriwayatkan dari Abu Hurairah ra:
 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
 

Artinya, “Dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Allah Ta'ala berfirman, ‘Ada tiga jenis orang yag aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang menjual manusia merdeka lalu memakan (uang dari) hasil bisnisnya, dan seseorang yang memperkerjakan buruh kemudian pekerja tersebut selesai namun upahnya tidak dibayarkan.” (HR Al-Bukhari).
 

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengomentari alasan adanya peringatan bagi mereka yang tidak memenuhi hak-hak pegawai, “Sebab mereka memperoleh manfaat tanpa imbalan, dan mempekerjakan buruh tanpa memberi upah.” (Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, t.t.], jilid XVI, halaman 191).
 

Simpulan Riwayat Hadits tentang Buruh

Dengan demikian, penjelasan riwayat-riwayat di atas menegaskan pentingnya bersikap adil, transparan, dan memenuhi hak-hak yang semestinya didapatkan oleh seorang buruh. Rasulullah saw juga sebagai teladan umat Islam secara tampak konsisten memperjuangkan hak-hak buruh. Selamat Hari Buruh! Wallahu a'lam.
 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta