Jabar

Sejarah Awal Berdirinya Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Rab, 17 April 2024 | 16:00 WIB

Sejarah Awal Berdirinya Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon. (Foto: NU Cirebon)

Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin didirikan pada tahun 1705 M. Babakan merupakan pedukuhan kecil yang terletak di bagian barat daya Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pendiri Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin ialah Ki Jatira, seorang kiai berdarah Mataram.


Dikutip dari NU Online Jabar, nama asli Ki Jatira adalah Syekh Hasanuddin bin Abdul Latif dari Kajen Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. Syekh Hasanuddin merupakan seorang pengembara yang selalu menyebarkan Islam di wilayah yang disinggahinya. Di wilayah Babakan, Syekh Hasanuddin membuat mushola kecil yang digunakan untuk mengajarkan agama Islam. 


Julukan Ki Jatira sendiri disematkan oleh murid-murid Syekh Hasanuddin, karena kebiasaan Syekh Hasanuddin yang beristirahat di bawah dua pohon jati ketika sedang membangun mushola. Julukan jatira sendiri mengandung arti jati = pohon jati, ra = loro (dua).


Dipilihnya wilayah Babakan untuk dikembangkan menjadi wilayah pesantren, mengingat sosok Ki Jatira yang sangat dekat dengan masyarakat miskin.

 

Kondisi Babakan yang memiliki lahan yang cukup kering dan sulit untuk dikembangkan dalam sektor pertaniannya membuat Ki Jatira tertantang untuk mengembangkan wilayah tersebut sebagai pusat pendidikan Islam dan menjaga masyarakat agar lepas dari pengaruh kekuasaan belanda.


Pada tahun 1718 penjajah Belanda melakukan penyerangan terhadap padepokan Ki Jatira yang berada di Pedukuhan Babakan. Walaupun serangan tersebut sempat mendapat perlawanan sengit dari para santri dan masyarakat, Belanda akhirnya memenangkan peperangan tersebut dan berhasil menghancurkan padepokan Ki Jatira.


Pada tahun 1721, Ki Jatira kembali ke pedukuhan Babakan untuk kembali melanjutkan perjuangannya dalam mengembangkan Islam. Kedatangan Ki Jatira disambut gembira oleh seluruh masyarakat. Bentuk keseriusannya dalam mengembangkan Islam di pedukuhan Babakan, diwujudkan dengan membangun kembali Pesantren Babakan pada tahun 1722 yang berjarak sekitar 400 M dari tempat pertama.


Perjuangan yang dilakukan Ki Jatira untuk membangun pesantren kembali mendapatkan cobaan dari Belanda. Mendengar kejadian nama Ki Jatira yang berhasil kembali membangun sebuah pondok pesantren dan mengajarkan ilmu agama serta kanuragan, membuat Belanda kembali memiliki inisiasi untuk menyerang dan menghancurkan pesantren yang baru dibangun kembali oleh Ki Jatira tersebut. 


Pada tahun 1751, Belanda kembali menyerang padepokan yang sudah dibangun oleh Ki Jatira. Namun, sebelum Belanda melakukan penyerangan, Ki Jatira beserta keluarga dan santrinya, sudah terlebih dahulu mengetahui info tersebut, sehingga berhasil menyelamatkan diri dengan mengungsi ke Desa Kajen, Kecamatan Plumbon, Cirebon. 


Melihat kondisi pesantren yang sudah kosong dan tak berpenghuni, Belanda akhirnya membakar seluruh bangunan pesantren hingga mengalami kerusakan yang cukup parah.


Pada tahun 1753 Ki Jatira mengalami sakit yang cukup serius ditambah dengan umur yang sudah sangat uzur. Ki Jatira akhirnya wafat pada tahun yang sama dalam pengungsiannya dari kejaran Belanda. Jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya, di Desa Kajen, Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon. 


Sebelum wafat, Ki Jatira menyampaikan wasiat kepada menantunya yaitu Kiai Nawawi untuk kembali ke Babakan guna melanjutkan perjuangan yang telah dilakukannya.


Sepeninggal Ki Jatira, Pesantren Babakan dipegang oleh menantunya yaitu KH Nawawi dan putera KH Nawawi yaitu KH Adzro'i. Kemudian secara estafet dilanjutkan oleh para penerusnya yaitu KH Syarqowi menantu KH Adzro'i mulai tahun 1225 H (1810 M).

 

Setelah itu dilanjutkan oleh KH. Ismail putera dari KH. Adzro'i, lalu oleh KH Muhammad Glembo bin KH Irsyad cucu KH Adzro'i. Pada 1335 H (1916 M) Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin dipimpin oleh KH Amin Sepuh bin KH Irsyad yang dibantu oleh saudara iparnya yaitu KH Sanusi mulai tahun 1341 (1922 M).


Penulis: Ahmad Rofahan